Sebuah perbedaan, apapun bentuknya ; dari perbedaan warna kulit, bahasa, hingga perbedaan aqidah atau keyakinan sekalipun, semua itu adalah sunnah kauniyah yang telah ditakdirkan oleh Allah SWT atas makhluknya. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman : "Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. (QS Huud 118-119)
Namun, meskipun perbedaan adalah sebuah sunnah kauniyah, bukan berarti kita tidak diperintahkan untuk berusaha menghindarinya. Ini sebagaimana ada pada kekufuran dan maksiat, yang tidak akan menimpa seseorang kecuali atas takdir Allah SWT. Meski demikian kita semua diperintahkan untuk menghindarinya, karena pada dua hal itu tetap saja mengandung unsur kehendak (irodah) dan pilihan manusia (al-ikhtiyar). Bahkan secara umum, para ulama menyatakan bahwa manusia wajib berusaha menghindari sunnah kauniyah yang bersifat buruk (seperti maksiat atau kekufuran).
Ragam Macam Ikhtilaf
Namun, meskipun perbedaan adalah sebuah sunnah kauniyah, bukan berarti kita tidak diperintahkan untuk berusaha menghindarinya. Ini sebagaimana ada pada kekufuran dan maksiat, yang tidak akan menimpa seseorang kecuali atas takdir Allah SWT. Meski demikian kita semua diperintahkan untuk menghindarinya, karena pada dua hal itu tetap saja mengandung unsur kehendak (irodah) dan pilihan manusia (al-ikhtiyar). Bahkan secara umum, para ulama menyatakan bahwa manusia wajib berusaha menghindari sunnah kauniyah yang bersifat buruk (seperti maksiat atau kekufuran).
Ragam Macam Ikhtilaf
Perbedaan atau Al-Ikhtilaf itu sendiri terbagi menjadi dua, yaitu yang terpuji (mahmud) dan tercela. (madzmum). Ikhtilaf disebut terpuji jika merupakan hasil ijtihad yang berlandaskan niat mencari kebenaran dan memenuhi syarat dan adabnya, bahkan meskipun hasil ijtihad tersebut keliru.
Dari Amr bin Ash Rasulullah SAW bersabda : " Jika seorang hakim menghukumi (suatu urusan) kemudian dia berijtihad dan benar maka baginya dua pahala, dan jika ia menghukumi lalu berijtihadi kemudian salah, maka baginya satu pahala " (HR Bukhori dan Muslim)
Ikhtilaf yang terpuji ini sebagaimana perbedaan yang ada di antara para shahabat dalam masalah fiqh yang cabang. Begitu pula perbedaan ini bisa kita dapati dalam berbagai pendapat imam madzhab yang sangat banyak kita jumpai dalam kitab fikih. Maka perbedaan yang terpuji ini justru merupakan bentuk rahmat dan kelapangan bagi umat manusia.
Contoh teknisnya dalam pelaksanaan Thowaf, pendapat selain imam Syafi’I lebih mudah untuk dikerjakan karena bagi mereka sentuhan kulit antara lain jenis tidak membatalkan wudhu, sehingga prosesi thowaf bisa dilaksanakan dengan lancar.
Adapun bentuk ikhtilaf yang tercela, adalah hasil ijtihad yang keliru karena bukan berlandaskan pada kebenaran, tetapi permusuhan, nafsu, fanatisme dan sikap tercela lainnya. Maka kemudian mereka berusaha menafsirkan, mentakwilkan hal-hal yang sebenarnya sudah final. Atau bahkan membuat dalil-dalil baru palsu untuk menguatkan pendapatnya. Arti sederhananya, ikhtilaf ini muncul dari hasil ijtihad dengan metodologi yang salah atau tidak sempurna, bahkan terkadang lebih didominasi kepentingan dan hawa nafsu semata. Ikhtilaf dalam bentuk yang tercela adalah sebagaimana ikhtilaf yang muncul dari faham-faham tertentu seperti : Syiakh, khowariz, mu'tazilah dan sebagainya.
Ikhtilaf yang tercela lebih tepat untuk disebut dengan iftiroq atau perpecahan. Inilah bentuk ikhtilaf yang diisyaratkan dalam sebuah hadits.
Dari Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda : " dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi 72 golongan, semuanya di neraka kecuali satu golongan saja yaitu al-jamaah " ( HR Ibnu Majah).
Ikhtilaf dalam kategori ini (perpecahan) membutuhkan ketegasan dalam menyikapinya, karena biasanya fatwa-fatwa yang dihasilkan akan menodai dan merusak citra dan ajaran Islam itu sendiri. Sangat perlu penyadaran masyarakat akan bahaya firqoh-firqoh (kelompok-kelompok) yang berada dalam kategori ini.
Sebab-sebab Perbedaan dalam Fiqh (Ikhtilaf Mahmud)
Perbedaan dalam furu’ (cabang) fiqh yang biasa terjadi antara sahabat dan juga antara imam madzhab disebabkan oleh banyak hal. Bahkan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pun menulis kitab khusus masalah tersebut yang berjudul “ Rof’ul malam an a’immatil a’laam “. Berikut kami sebutkan sebagian kecil faktor yang menyebabkan adanya perbedaan tersebut, sebagai gambaran umum bagi kita dalam memahami perbedaan fiqh yang ada dalam masyarakat kita.
Pertama : Perbedaan pada kecenderungan dan tabiat manusia, serta tingkat pemahaman akal yang berbeda.
Ibnul Qayyim mengatakan : " terjadinya perbedaan diantara manusia adalah hal yang sangat pantas dan harus terjadi, karena mereka juga berbeda keinginan, pemahaman dan kekuatan logikanya ".
Contoh riilnya apa yang terjadi pada Sahabat Umar ra dan Abu Bakar pada kebijakan tawanan perang Badr. Umar yang cenderung keras dan tegas berpendapat untuk membunuh tawanan perang tersebut, sedang Abu Bakar yang dikenal dengan kelembutannya cenderung membolehkan tawanan tersebut dibebaskan dengan tebusan.
Contoh lain dalam masalah ini adalah perbedaan dalam masalah anjuran mencium dan mengusap Hajar Aswad dalam ibadah Thowaf. Ibnu Umar ra dengan semangatnya tetap ikut berdesak-desakan untuk dapat mencium Hajar Aswad, sementara Ibnu Abbas cenderung untuk menghindari hal tersebut dan cukup hanya dengan memberi isyarat atau melambaikan tangan saja.
Kedua : Perbedaan karena tidak sampainya dalil (nash) pada salah satu pihak, atau salah satu pihak tidak mengetahui bahwa dalil tersebut sudah dinaskh (hapus).
Ada kalanya ada sebuah nash yang tidak sampai pada salah satu pihak, maka ia beramal dengan dalil lain, baik berupa dhohir ayat, hadits maupun qiyas dan istishhab. Ibnu Taimiyah mengatakan : "sebab ini adalah yang paling banyak menjadikan perbedaan diantara para salaf, karena menguasai seluruh hadits Nabi SAW itu tidak akan dapat dilakukan oleh seorangpun dari umat ini "
Contoh riilnya adalah Abu Bakar ra yang sempat menghukumi bahwa tidak ada jatah warisan bagi nenek, kemudian setelah mendapat hadits lain dari Mughiroh maka kemudian ia menetapkan jatah seperenam bagi nenek dalam masalah warisan.
Ketiga : Perbedaan dalam menilai kuat tidaknya suatu hadits.
Maka yang menganggap kuat akan beramal dengannya, sementara yang menganggap lemah akan beramal dengan hadits lain yang berbeda maknanya. Contoh dalam masalah ini banyak tersebar dalam kitab fikh, seperti masalah sholat Tasbih ada yang menganggapnya sunnah dan sebagian lain melarangnya, karena perbedaan dalam menilai kuat dan lemahnya sebuah hadits.
Keempat : Perbedaan dalam memahami lafadz sebuah dalil .
Sebagian besar perbedaan yang ada terjadi karena dua sebab utama.
Pertama, karena memang ada lafadz yang dianggap asing (gharib) atau mempunyai makna yang beragam dan berbeda. Seperti lafadz Quru’ dalam masalah perceraian (talak).
Atau sebab Kedua, karena satu pihak memaknai secara mutlak (hakekatnya) dan ada yang memaknainya secara kias (majazi). Contoh dalam masalah ini , kata 'al-lams' yang membatalkan wudhu. Ada yang mengartikan hakikatnya yaitu menyentuh (kulit) sudah membatalkan. Ada pula yang mengkiaskan dengan bersetubuh (jimak), sehingga menyentuh tidak membatalkan. Begitu pula dalam masalah penetapan awal ramadhan dengan rukyah. Lafadz rukyah dalam hadits ada yang diartikan melihat dengan mata kepala, dan ada yang memaknai melihat dengan banyak cara, seperti hisab.
Kelima : Perbedaan dalam metodologi pengambilan sebuah hukum (istinbath).
Dalam kajan Ushul Fiqh, kita mengenal bahwa setiap imam mempunyai prioritas yang berbeda-beda dalam menentukan urutan dalil syar’inya. Setelah mereka bersepakat urutan pertama dan kedua adalah Al-Quran dan Sunnah, maka urutan berikutnya terdapat banyak perbedaan. Bahkan ada sebuah dalil bagi madzhab tertentu yang mungkin tidak dianggap oleh ulama madzhab lainnya.
Menyikapi Perbedaan dalam Fiqh
Dr. Yusuf Qardhawi dalam bukunya Fiqh Ikhtilaf memaparkan tentang landasan pemikiran dalam menyikapi perbedaan fiqh, secara singkatnya sebagai berikut :
1. Menyadari bahwa perbedaan dalam hal furu' adalah sesuatu yang dharurah dan rahmat. Sehingga penyatuan pendapat adalah sesuatu yang cenderung tidak mungkin, dan jika dipaksakan justru akan mengarah pada perpecahan. Yang lebih diperlukan adalah kesadaran akan perbedaan tersebut.
2. Mengikuti manhaj yang moderat / pertengahan dan menghindari sikap berlebih-lebihan dalam agama, karena sesungguhnya “urusan yang terbaik adalah yang pertengahan”.
3. Hendaknya kita fokus pada hal-hal yang muhkamat atau jelas penafsirannya, dan menghindari perdebatan seputar hal yang mutasyabihat (masih rancu).
4. Tidak mengingkari secara mutlak atau final terhadap masalah-masalah ijtihadiyah yang masih debatable, begitupula tidak meyakini dan mendukung secara mutlak. Hal ini sesuai kaidah : “ijtihad tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad yang lain”.
5. Pentingnya membaca dan menelaah perbedaan di antara ulama, sebab dan dalil-dalinya. Hal ini untuk menguatkan toleransi dan menghindari sikap reaktif dalam menanggapi perbedaan.
6. Menyibukkan diri dengan agenda umat yang lebih besar dan prioritas. Membahas dan menanggapi masalah khilafiyah tidak akan pernah selesai, yang ada justru melemahnya kesatuan umat. Karenanya lebih prioritas untuk bekerja secara riil demi kemaslahatan umat, dari pada sibuk berdebat dalam masalah khilafiyah.
7. Saling bekerja sama dan membantu dalam hal-hal yang disepakati, serta saling bertoleransi dan memahami dalam hal-hal yang masih berbeda dan belum bisa disepakati.
Akhirnya, semoga Allah SWT memudahkan setiap upaya kita untuk menyatukan umat. Wallahu a’lam bisshowab
Sumber: http://www.indonesiaoptimis.com/2010/11/fiqh-ikhtilaf-memahami-perbedaan-dalam.html
0 komentar:
Post a Comment