Bosan mungkin adalah kata yang tepat
untuk menggambarkan bagaimana perasaan supporter Liverpool yang menunggu
kemenangan kandang pertama mereka musim ini. Performa ala tiki-taka
atau dalam bahasa yang lebih Liverpool, pass and move yang bisa
dibilang baik memang seakan-akan menjadi angin segar bagi mereka.
Sepakbola atraktif tentu dengan senang hati diterima di hati, akan
tetapi, di akhir hari semua orang akan melihat papan klasemen, dan bagi
supporter Liverpool, papan bawah jelas adalah sebuah mimpi buruk.
Kemenangan 1-0 melawan Reading sabtu lalu merupakan kemenangan Liverpool yang kedua dan pertama di kandang dalam 8 pertandingan liga. Statistik home yang tidak bagus sama sekali tidak bisa diterima mengingat klub ini seringkali disanjung-sanjung akan kandangnya yang sulit ditembus, ‘This Is Anfield’ katanya, stadion dengan desibel tertinggi di Premier League, dan menurut penuturan pemain sebesar Thierry Henry, ia selalu merinding ketika bermain di Anfield.
Pertandingan kemarin, seperti
pertandingan-pertandingan lainnya akan selalu dibuat kesimpulannya oleh
beberapa orang. Yang paling jelas terlihat, pertandingan kemarin adalah
hari dimana Liverpool memenangkan pertandingan kandang pertama mereka di
musim ini, dan yang kedua adalah Raheem Sterling tercatat sebagai
pemain termuda kedua yang mencetak gol untuk Liverpool setelah, maaf
untuk membuat anda ingat, Michael Owen.
Berbicara tentang gol Sterling, dibuat
melalui serangan balik yang cepat dari belakang yang dibalut oleh
sentuhan efisien dari Luis Suarez, Sterling melejit mendahului pemain
belakang Reading dan dengan tenang melepaskan sebuah gol yang melesak
pasti ke sudut gawang. Gol ini merupakan gol bagus karena datang dari
pemain yang sangat muda, menjadi penentu kemenangan pertandingan, dan
membawa Liverpool era Rodgers ke kemenangan kandang pertama mereka di
liga. Saya yakin Brendan Rodgers juga suka pada gol tersebut karena
alasan diatas, akan tetapi, gol tadi juga mencerminkan bagaimana
Liverpool belum bisa mencetak gol yang proper untuk filosofi bermain mereka sendiri.
Gol-gol Liverpool musim ini, seingat
saya, yang saya percaya benar tanpa harus memaparkan catatan
statistiknya, banyak yang terjadi melalui set-piece, kekacauan di depan gawang, kesalahan lawan, dan yang paling baru, counter-attack. Hanya sedikit, atau mungkin tidak ada gol yang tercipta melalui umpan-umpan pendek, di set-up dari
bawah dengan sempurna, atau dengan penetrasi-penetrasi cerdas yang
akhirnya akan membuat kita setuju bahwa tiki-taka telah bekerja di
Liverpool.
Apabila kita melihat sebuah klub dengan filosofi possesion football yang
telah berhasil, seperti Barcelona, mereka tidak hanya mampu mengurung
musuh mereka di seperempat lapangan daerah sendiri, mereka mampu membuat
shoot-on-goal yang berbahaya, melakukan penetrasi-penetrasi pendek di
daerah kotak penalti, dan memproduksi key-passes yang merobek pertahanan lawan. Oleh karenanya, Xavi dan kawan-kawan punya alasan yang jelas mengapa mereka memainkan possesion football,
mereka bisa membunuh lawan mereka dengan mengurung mereka
habis-habisan. Belum sama dengan Barca, Liverpool masih berkutat dengan possesion football yang baru datang musim panas ini, tanpa segalanya kecuali possesion itu sendiri.
Untuk menikmati sukses yang dinikmati
Barcelona, Liverpool perlu meningkatkan kualitas mereka dengan
menambahkan faktor-faktor diatas. Seperti kata Cruyff, total football (bisa
dibilang asal usul dari tiki-taka) membutuhkan pemain dengan kualitas
tertinggi. Kemungkinan yang dimaksud Cruyff adalah, anda tidak bisa
menang dengan terus memegang bola tetapi tidak tahu cara untuk
memasukkan bola tersebut kegawang. Ini merupakan PR bagi Rodgers,
bagaimana ia dapat meningkatkan kualitas tersebut, karena possesion football bukan sekedar quantity of possesion, it’s more about the quality that you make out of that quantity dan Liverpool tidak bisa bergantung pada set-piece dan counter-attack apabila ingin bermain dengan tiki-taka The Liverpool Way.
Ayo Liverpool, tetap semangat kalahkan musuh-musuhmu...
ReplyDelete